| |||
Masjid yang terletak di kabupaten Demak, propinsi Jawa Tengah ini
pada walnya disebut masjid Glagahwangi, didirikan oleh wali songo
bersama dengan santrinya termasuk didalamnya ialah Raden jimbu/ Raden
Patah. Masjid yang berada di tengah pondok pesantren Glagahwangi yang
dipimpin oleh Sunan Ampel pada tahun 1466, merupakan masjid pertama di
Pulau Jawa.
Masjid ini berdasarkan cerita rakyat dibangun dalam waktu satu malam, oleh Ki Ageng Selo dengan Bledeg / Petir dimana dilukiskan sebagai binatang mitos berupa Mahkota kepala naga sebagai condro sengkolo / prasasti bermakna “Nogo Mulat saliro Warni” identik dengan tahun jawa 1833 s atau 1466 M. tahun 1475 M dipugar dan direnovasi oleh Raden Patah (ini merupakan renovasi pertama kali). Ini terjadi saat Raden Patah diangkat menjadi Adipati Majapahit I Glagahwangi. Tahun 1478 masjid dipugar kembali dan dijadikan masjid Keraton kasultanan Bintoro. Rancanga pemugaran dibantu oleh para wali terutama sunan Kalijaga, sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati yang menyumbang empat soko guru, bangunan kota masjid.Pendopo kerajaan Majapahit menjadi Serambi (sampai sekarang masih asli). Dampar Kencana digunakan sebagai mimbar khotbah, Hampir disetiap bangunan mengandung nilai filosofis, sehingga menjadi bangunan Islam yang penting di Asia Tenggara dan dunia Islam. Atap berbentuk limas piramida susun tiga pengejawantahan akidah islamiyah yang bersumber padaIman, Islam, Ihsan. Mustaka yang berarti kekuasaan tertinggi secara mutlak hanylah kehadirat Allah SWT. Pintu Bledeg, pintu utama merupakan sondro sengkolo abad XV. Soko Guru Sunan Ampel, Walijogo, Sunan Bontang, dan Sunan Gunung Jati, penopang. Struktur utama masjid simbol dari tegaknya ajaran Islam yang dibawa oleh para wali. Sebagaian besar bangunan terbuat dari kayu jati berukuran besar-besar, sedangkan dinding dari pasangan batu-bata, namun sudah banyak yang mengalami perbaikan, dan diberi hiasan dan lambang-lambang seperti Bulus di pengimaman, Surya majapahit, Akar Mimang sebagai lambang Goib, Piringan Porselen Putri Campa, dan lain-lain. Bedug dan kentongan wali Pintu Bledeg abad XV yang asli Guci dari dinasti Ming abad XIV, kitab suci dan tafsir Al quran tulisan tangan sejak zaman Sunan Bonang.
Sumber: Direktori masjid Bersejarah
Departemen Agama RI
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Direktorat Urusan Agama Islam dan pembiaan Syari’ah
Jakarta tahun 2008
nama-nama Walisongo : 1. Sunan Malik Ibrahim http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-malik-ibrahim/ 2. Sunan Ampel http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-ampel/ 3. Sunan Giri http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-giri/ 4. Sunan Bonang http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-bonang/ 5. Sunan Kali Jaga http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-kalijaga/ 6. Sunan Gunung http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-gunung-jati/ 7. Sunan Drajat http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-drajat/ 8. Sunan Kudus http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-kudus/ 9. Sunan Muria http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-muria/ cerita Sunan Kalijagahttp://netlog.wordpress.com/category/sunan-kalijaga/
Raden.
Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.,
adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang
mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur
Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya
dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3
orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh
dan Dewi Sofiah.
Diantara
para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa
besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah
operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung
seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau
bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.
Kaum
bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya
beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman,
Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi
dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa
hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta
disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif
mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam
dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan
sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini dilakukan karena
pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal
kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa
Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh
tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya
masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa
cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan
Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur
siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan
ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah
berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan
Agama Islam di sini.
Sunan
Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh
seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini
adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar
jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak
mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama,
seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid.
disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan
wayang kulit yang ada sekarang ini.
Sunan
Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang
dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya
yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup
sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita
kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu
keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan
beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.
Berhubung
pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik
terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila
dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan
cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga
mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali
kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada
gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.
Maka
setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu
cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang
yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah
seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran
tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli
seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).
Maka
dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan
serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu
adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.
Menurut
adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali,
diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan
dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini
oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan
dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan
itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di
depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam
bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga
banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun
kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.
Kemudian
dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali
memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya
diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang
mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati
gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka
diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus
mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang
demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa
yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam
masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa
segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Sungguh
besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan
seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit)
seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga
dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga
(periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai
gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan
tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran
budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata
bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata :
“quu” dan “qilla” atau “quuqiila”, yang artinya “peliharalah ucapan
(mulut)-mu.
Hal
mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung
itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita,
agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga
dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria
yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut berasal berasal dari
kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti kepada Allah
SWT.
Nama
yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya
selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama
Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari rangkaian
Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli – artinya pelaksana, penghulu :
sedangkan Zaka – artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian
menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu
artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan
(kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Konon
kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut pula, sehingga
dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa
pemerintahan, pertama jaman akhkh Siti Jenar sesungguhnya tak ada
disini, yang ada hanyalah Tuhan yang Sejati.
ujarnya pula :
“Awit
seh lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan sira ngaturana, ing
pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa kalakon yekti”
Artinya :
Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya adalah wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. pada waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh Siti Jenar pun menjawablah, katanya :
“Aja
ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata ingsun kang sejati,
jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran bangsa Allah”
Artinya :
jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata: “Annal haqq” artinya : “sayalah kebenaran yang sejati itu”
kemudian katanya pula :
“wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.
Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan :
“Telah bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”
Dalam
segala hal demikianlah pandangan hidupnya. ucapan dan ajarannya inilah
yang mengakibatkan dia dihukum mati di atas tiang gantungan, karena
dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah Bagdad. kedua ahli
mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar fahamnya condong kepada
ajaran pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan khalik Maha
Penciptanya. dan keduanya pun mengalami pula nasib yang sama, karena
mereka harus menebus keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.
Kemudian
kita dapati pula ucapan Siti Jenar yang lain, yang tampak isinya lebih
mengutamakan hakekat daripada syari’at, katanya :
“Sahadat
salat puwasa kawuri, apa dene jakat lawan pitrah, ujar iku dora kabehm
nora kena ginugu, Islam tetep durjaning budi, ngapusi kyehning titah,
sinung swarga besuke, wong bodo kanur ulama, tur nyatane pada bae ora
uning, beda syekh siti jenar.”
Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar :
“Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal”.
Demikianlah
antara lain pandangan hidup serta ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar.
Dalam riwayat dikatakan bahwa murid Syekh Siti Jenar adalah : Ki Ageng
Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung, Ki Lontang.
Menengok konflik Masa Lalu
Biasanya,
konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu,
lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik.
Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali
Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam
telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan
tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk
rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq
Muhammad Hamidi). Di era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh
NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya,
sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal” antara
Wali Songo (yang mementingkan syari’at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar
(yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman
mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa
dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai
kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam
berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub
politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu,
Demak) dan Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki
pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit
untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun.
Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik.
Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat
tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: “Babad Demak”,
“Babad Tanah Djawi”, “Serat Kandha”, dan “Babad Meinsma”.
Lagi-lagi,
konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang
terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan
Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran “Islam
mutihan” (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan
pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo
Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran
Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata
(anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan)
mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu
memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif
terhadap budaya.
Sejarah
juga mencatat, konflik para wali itu “lebih seru” bila dibandingkan
dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat
dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan
terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan
politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan
pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid
terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.
Bahkan,
De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya
menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan
antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi
spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat
sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu
sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi
juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu)
banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya,
seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar “Sultan” bila telah
mendapatkan “restu” dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara
seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali
sendiri.
Begitupun
ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus
“berbelok arah” mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata
[kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus])
untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan
Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki
Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.
Tidak
hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut
hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya.
Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram
ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000
ulama ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram, dengan alasan
“mengganggu keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang
berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya
-di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan
aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus
berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah “warisan” masa kini.
|
Halaman
SELAMAT DATANG
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh............
Pengunjung yang budiman Dengan adanya Blog ini kami bermaksud ingin memberikan informasi mengenai LDII khususnya di Demak. mulai dari Program dan kegiatan2 yang dilakukannya. Mudah2an Blog ini bisa menjadi suatu media untuk mendapatkan informasi yang berimbang mengenai LDII sehingga pengunjung bisa memberikan penilaian yang obyektif mengenai LDII tidak hanya dari satu sumber saja. Akhirnya kita tetap bisa mewujudkan ukhuwah islamiyah, dan tidak mudah terprovokasi. Amiiin...
Jumat, 02 Desember 2011
sejarah demak
Sejarah Masjid Demak